Begitu sampai Wisma Samadi, kami dibagi teman sekamar. Sharlene, Suzong, dan saya sekamar di kamar nomor 23, itu yang saya dengar. Begitu masuk kamar dan sudah bagi ranjang, tiba-tiba Tania masuk kamar.
kami kaget karena katanya dia juga di kamar nomor 23 padahal ranjangnya cuma 3 biji. Lalu kami tanya pembina kami. Sementara itu, Dita dan Susan juga lapor karena mereka di kamar 35, sedangkan kamar 35 itu terpencil di tempat cuci piring.
Saya : Saya salah denger ya Bu?
Pembina : Ga kok. Tunggu sebentar ya... Yudith, kamu ikut saya.
Saya : Hah, saya sekamar sama Ibu? *syok setengah mati gilaaa, ini retret terakhir saya dan masa saya sekamar pembina? Ga seru banget kan?!*
Dita : Tenang Dith. Eh jangan-jangan kita malah sekamar.
Dan ternyata benar. Saya sekamar Dita dan Susan, di kamar 32, bukan 35 untungnya...
*
Sesuai peraturan, retret kami SILENTIUM. Tidak boleh ngobrol. Tidak boleh kontak mata (yah walau tidak ada yang dimarahin karena kontak mata sih). Yang melanggar, akan tereliminasi. Tapi intinya peraturan cukup ketat dijalankan. Kami harus bicara bisik-bisik kalau mau bicara.
Dan banyak teman-teman yang menurut saya cuma kurang beruntung karena tertangkap saat bisik-bisik sehingga dimarahi oleh guru sampai dipanggil ke ruang romo, diancam disuruh pulang. Kenapa saya bilang kurang beruntung? Karena masih banyak teman lain yang ngobrol bisik-bisik. Gini aja yah, siapa sih yang tahan ga ngomong selama 4 hari? Intinya kan semua pasti melanggar aturan yang itu, tapi cuma beberapa aja yang ketahuan dan diancam tereliminasi kalau sudah sering ketahuan ngobrol.
Tapi menurut saya, pelaksanaan aturan ini agak tidak adil. Nama sepertinya membawa persepsi tersendiri bagi yang mendengarnya. Maksudnya, ada nama yang sudah membawa pemikiran buruk dari orang-orang duluan, padahal dia tidak melakukan apa-apa. Atau orang lain juga melakukan hal yang sama-sama salah seperti dia, tapi karena namanya yang sudah dicap negatif duluan, cuma dia saja yang dihukum. Padahal, apa salahnya sebuah nama coba?
Sedihnya, dari sekian banyak nama, teman sekamar saya, Dita yang kurang beruntung, harus tereliminasi beneran. Yah, dia memang sering ditegur dan katanya itu sudah keputusan pembina dan romo, jadi mau gimana lagi. Begini nih kronologisnya. Di hari ketiga, Dita dan beberapa teman dipanggil ke ruang romo. Sampai makan siang, teman saya ada yang nangis. Dalam hati saya pikir, nanti saja saya tanya Dita pas di kamar, dia pasti mau cerita. Eh habis makan siang kan ada waktu bebas sampai jam 4 (harusnya sih tetap ga boleh ngobrol), saya baru mau mandi ketika Dita masuk kamar.
Saya : Tadi lu diapain Dit?
Dita : Disuruh pulang gue Dith.
Saya : Hah iya?? Siapa aja yang disuruh pulang?
Dita : Cuma gue doang.
Saya : *menyebutkan nama teman-teman yang tadi dipanggil bersama Dita*
Dita : Ga Dith, cuma gue doang.
Saya : Serius Dit? Kapan pulangnya?
Dita : Sekarang. Nih gue mau beres-beres.
Sumpah saya kaget, tidak nyangka peraturan tentang pulang itu benar-benar dijalankan. Saya langsung ga jadi mandi, nungguin Dita beres-beres terus turun. Dan setelah dia beres-beres, spontan saya meluk dia dan dia meluk balik, rasanya sedih teman sekamar saya berkurang satu.
Trus saya mau mandi dan ketemu Myra, si ketua retret. Kami berinisiatif minta maaf sama pembina. Menurut saya ini kan wajar, ketua minta maaf gitu, tapi pembina tetep kekeuh mengeliminasi Dita dan katanya marah-marah juga akhirnya ke Myra. Tapi kenapa cuma Dita sendiri? Ini nih yang saya bilang ga adil. Well, dia memang ngaku salah, dia ngaku tadi ngobrol. Tapi... saya juga ngobrol kok, yang lain juga pasti ngobrol, untung aja pembina ga negur. Tapi kenapa?
Begitu selesai mandi, Susan sudah di kamar, tadi pas Dita pulang, dia lagi mandi jadi ga liat. Katanya, teman-teman banyak yang ke kamar, ngecek koper Dita sudah ga ada. Padahal Dita bilang nanti dia mau cerita ke kami pas malam, seperti malam sebelumnya, kami suka cerita-cerita ditegur atau sekedar galauan anak kelas 3 SMA gitu. Eh, siangnya malah Dita udah tereliminasi (persis kayak di AFI yang kalau pulang bawa koper). Saya dan Susan jadi sedih, tapi tetap, kami mengobrol random malamnya karena belum mengantuk, sampai jam 12 malam. Yang saya kagumi dari Dita, dia tetap santai dan mengakui kesalahannya. Mungkin, dia teman paling berani yang pernah saya kenal (Y)
Yah, begitulah kisah di kamar retret saya. Saya jadi merasa beruntung karena dipindahkamarkan, bukan berarti saya ga mau sekamar Sharlene-Suzong awalnya, tapi karena pindah saya jadi bisa mengalami apa yang tidaksemua orang alami. Balik, soal retret. Sangat berkesan dan tidak biasa memang. Kami hanya tersenyum kalau berpapasan, tidak ada kata terucap. Apalagi sejak Dita pulang, saya berusaha tidak ngobrol karena tidak adil kalau tidak ditegur, sedangkan Dita sudah pulang karena ngobrol.
**
Oh ya, ada beberapa hal yang saya sukai selama ret-ret di Wisma Samadi ini.
Pertama: spot favorit saya : di bawah, batu paling dekat kolam. Entah kenapa, rasanya tenang meditasi di situ sambil mengamati gerak ikan dan kupu-kupu yang terbang (maksud saya, ikannya berenang, kupu-kupunya terbang). Walau tiba-tiba ada kodok yang datang dan saya harus pergi.
Kedua: banyak kupu-kupu di taman dan Ben-ben mengajari saya menangkapnya walau saya tidak pernah berhasil. Ya, saya sangat suka tamannya dan tidak pernah bosan walau sudah 4 kali ke sana.
Ketiga: pada malam ketiga, saya duduk di taman sekitar jam 7an. Bulan purnama berwarna kuning. Bintang bertaburan di langit malam. Sumpah bagus banget! Kapan lagi liat pemandangan langit malam sebagus itu? Di Jakarta sih ga ada bintang...
Keempat: Wisma Samadi terkenal akan makanannya. Dijamin kalau retret di sana ga akan lapar, justru pas SD saya dan teman-teman selalu nambah makannya. Cuma sekarang sudah SMA, jadi yaa jaim sedikit bolelah :p
Kelima: suara bel romo. Gemanya panjang dan menenangkan jiwa. Romo belinya di mana ya?
Sayangnya, ini retret terakhir saya di Wisma Samadi. Saya akan kangen pengalaman retret saya di sana, apalagi yang terakhir ini karena beda banget dan cuma gelombang saya yang dapat model retret meditasi.
***
Inti dari retret ini adalah BATIN yang TENANG. Kalau sudah mencapai itu, kita dapat melakukan kebaikan dan tahu apa yang harus dilakukan. Untuk mencapainya, kita harus menyadari suatu objek, jangan dilawan dan menyadari kotoran-kotoran batin di sekitarnya.
11-14 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar